Kamis, 20 Februari 2014

HIKMAH

MEMAKMURKAN TAHUN BARU HIJRIAH

Jabrohim*


Pada awal abad ke-20 lalu, para aktivis SI kabarnya pernah mencetuskan perlawanan budaya terhadap gejala gencarnya budaya Nasrani yang dikampanyekan oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah dengan memperingati Tahun Hijriyah. Karena pada waktu itu istilah Hijriyah belum dikenal meluas, maka mereka menggunakan strategi tidak langsung. Yaitu, memanfaatkan kalender Sultan Agung, yang menyatukan kalender Jawa dengan kalender Islam Hijriyah).
Karena tahun baru Hijriyah diawali dengan bulan Muharam (Suro), maka mereka yang tengah melakukan perlawanan budaya itu kemudian mengkampanyekan peringatan tahun baru 1 Suro. Itulah yang kita kenal sekarang, lengkap dengan berbagai ritualnya yang menyimpang di sana-sini, lengkap dengan berbagai mitos yang tidak rasional menyebar ke tengah masyarakat. Spirit perlawanan budaya yang semula dikandung telah pelan-pelan memudar dan melenyap.
Baru tahun 1970an, bersamaan dengan munculnya semangat untuk menjadikan abad ke-15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam, maka upaya untuk memperingati Tahun Baru Hijriyah dilakukan secara besar-besaran di mana-mana. Waktu itu muncul berbagai ide kreatif anak-anak muda Islam di berbagai kota. Anak-anak muda Yogyakarta misalnya, menyelenggarakan Pawai Hijrah dari Kridosono menuju Alun-alun Utara. Prosesi menyambut Tahun Baru Hijriyah itu cukup sukses. Anak-anak muda Jakarta melakukan kegiatan yang melambangkan spirit Hijrah, yaitu dengan menyelenggarakan lomba gerak jalan jarak jauh yang diberi nama Gerak Jalan Hijrah. Dan Pak AR Fakhruddin (Allahuyarham) malah mengkampanyekan cara memperingati Tahun Baru Hijriyah dengan cara yang popular. Yaitu dengan saling mengirim kartu Selamat Tahun Baru Hijrah. Lalu penggunaan kalender Hijrah dalam surat-surat resmi pun dikampanyekan. Waktu itu Pak Natsir (Allahuyarham) yang baru pulang dari menyaksikan Festival Islam di London kemudian menulis laporan yang isinya bahwa peradaban Islam di masa lalu memang pernah hebat dan pernah menjadi penanda besar sebuah zaman.
Yang jelas hiruk-pikuk menyambut datangnya abad ke-15 Hijrah terjadi di mana-mana. Diskusi, seminar, tulisan sambung-menyambung dan sebagainya. Harapan mekar. Masa depan dapat diterobos dengan penuh optimisme.
Nah sekarang abad ke-15 Hijriyah sudah berjalan seperempatnya. Apa yang terjadi dengan dunia Islam dan apa yang terjadi dengan perikehidupan umat Islam? Macam-macam. Secara politik dan ekonomi dunia Islam masih kelihatan memble. Hanya dua atau tiga negara Islam yang relatif memiliki karakter dan mampu memakmurkan rakyatnya. Misalnya, Malaysia, Iran dan Lybia. Yang lain sedang dalam proses untuk memantapkan karakternya dan memakmurkan rakyatnya.
Secara budaya justru terjadi lompatan besar selama 25 tahun ini. Islamisasi budaya terus bergerak ke segenap pelosok dunia. Dan di Indonesia terus tumbuh saling berganti wacana kebudayaan yang memiliki akar pada agama Islam. Bahkan aksi-aksi berupa gerakan kebudayaan pun melaju lewat dua jalur. Perkotaan dan pedesaan sekaligus. Anak muda Muslim kota sudah pandai menentukan pilihan budayanya yang jelas, lewat berbagai eksperimen yang cukup alot. Musik, sastra, senirupa, film, dan bahasa gaul mereka sudah mulai tampak jelas karakternya. Demikian juga anak muda Muslim pedesaan, lewat jalur pesantren mereka mengembangkan nilai-nilai luhur pesantren. Antara lain, kemudian mereka ekspresikan lewat sastra pesantren dan musik pesantren. 
Dan berkaitan dengan datangnya Tahun Baru Hijriyah pun anak-anak muda Muslim kota dan pedesaan sudah pandai untuk melakukan Hijrah Budaya. Dari budaya konsumtif sebagaimana dikampanyekan oleh budaya Barat menuju pada udaya produktif sebagaimana diperintahkan oleh ajaran Islam. Mereka berhijrah dari budaya mengumbar aurat menuju budaya menutup aurat. Mereka berhijrah dari budaya sekuler menuju ke budaya yang lebih relijius. Kampus-kampus, trmasuk kampus Muhammadiyah pun upaya memakmurkan Tahun Baru Hijriyah dengan cara melakukan Hjrah Budaya juga kelihatan.
Yang berkurang, atau malahan lirih terdengar adalah bagaimana kita memakmurkan Tahun Baru Hijriyah lewat penyegaran wacana, lewat proses penyuburan gagasan baru yang lebih memiliki perspektif ke depan, juga lewat gerakan-gerakan pendampingan budaya, bahkan gerakan advokasi budaya bagi masyarakat Muslim pinggiran.
Padahal gerakan wacana dan gerakan aksi budaya yang seperti itu jelas kita butuhkan. Muhammadiyah yang jelas-jelas mengaku memiliki konsep dakwah kultrual pun sepertinya belum juga punya agenda yang jelas dalam kaitan memakmurkan Tahun Baru Hijriyah ini. Dan daripada saling menunggu, lebih baik ada yang langsung memulai. Mari kita mulai dari diri sendiri.
*) Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan penggagas PASS (Pusat Aktivitas dan Studi Seni Budaya) UAD.


Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 1 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar